Hai.....Hai.....Hai......
Blu is here... heheheh...
.
Nulis tulisan yang random bin random binti random ini sebenernya cuma sedikit dari ke-random-an owner aja. #plak.
dan ini adalah tulisan yang paling gak penting yang ada di dalam blog yang juga sebenernya juga gak penting juga sih.
.
well, owner sekarang udah kelas XII, dan berarti waktu buat ngurus semua akun SosMed. Dari Pesbuk, Joomla, Blog, Wordpress, Twitter, dll. (hahaha, owner ini punya bakat jadi teroris ne?). Daaaaaannnn, owner udah mulai melupakan utang-utang fanfic yang masih menggunung. #sign (lirik di pesbuk).
.
Udah ah, dari pada tulisannya tambah random. mending udahan aja nulisnya..
.
See ya, in the next time....
Ajibarang, pernghujung bulan kesebelas.
with random speech,
random Owner
Random; ketika owner menjadi gila
Diposting oleh
maxvestakarinOCHO
on Rabu, 27 November 2013
Label:
Random word
/
Comments: (0)
bisa gak? [Mitologi Yunani]
Diposting oleh
maxvestakarinOCHO
on Rabu, 29 Mei 2013
Label:
mitologi yunani
/
Comments: (0)
Mitologi Yunani
Mitologi
Yunani adalah sekumpulan mitos dan legenda yang berasal dari Yunani Kuno dan
berisi kisah-kisah mengenai dewa dan pahlawan, sifat dunia, dan asal usul serta
makna dari praktik ritual dan kultus orang Yunani Kuno. Mitologi Yunani merupakan
bagian dari agama di Yunani Kuno. Para sejarawan modern mempelajari mitologi
Yunani untuk mengetahui keadaan politik, agama, dan peradaban di Yunani Kuno,
serta untuk memperoleh pemahaman mengenai pembentukan mitos itu sendiri.[1]
Kebanyakan
dewa Yunani digambarkan seperti manusia, dilahirkan namun tak akan tua, kebal
terhadap apapun, bisa tak terlihat, dan tiap dewa mempunyai karakteristik
tersendiri. Karena itu, para dewa juga memiliki nama-nama gelar untuk tiap
karakternya, yang mungkin lebih dari satu. Dewa-dewi ini kadang-kadang membantu
manusia, dan bahkan menjalin hubungan cinta dengan manusia yang menghasilkan
anak, yang merupakan setengah manusia setengah dewa. Anak-anak itulah yang
kemudian dikenal sebagai pahlawan.
Mitologi
Yunani secara eksplisit terdapat dalam kumpulan cerita dan karya seni Yunani
Kuno, seperti pada lukisan vas dan benda-benda ritual untuk dewa. Mitologi
Yunani menjelaskan asal mula dunia serta menceritakan kehidupan dan petualangan
berbagai dewa, dewi, pahlawan, dan makhluk-makhluk mitologi. Mitologi Yunani
pada awalnya disebarkan melalui tradisi lisan. Saat ini sebagian besar
informasi mengenai mitologi Yunani diperoleh dari sastra Yunani.
Sumber
literatur Yunani tertua—yakni wiracarita Iliad dan Odisseia—berisi kisah yang
berpusat pada peristiwa mengenai Perang Troya. Sementara, dua puisi karya
Hesiodos—Theogonia dan Erga kai Hemerai—menceritakan mengenai penciptaan dunia,
pergantian kekuasaan dewa, pergantian zaman manusia, asal mula kesengsaraan
manusia, dan asal mula ritual kurban. Mitologi Yunani juga terdapat dalam Himne
Homeros, potongan-potongan wiracarita dari Siklus Epik, karya seni tragedi dari
abad kelima, tulisan-tulisan para sejarawan dan penyair dari zaman Yunani Kuno,
serta naskah kuno dari Kekaisaran Romawi karya penulis-penulis seperti
Plutarkhos dan Pausanias.
Penemuan-penemuan
arkeologi telah menunjukkan sumber-sumber penting mengenai rincian mitologi
Yunani, di mana para dewa dan pahlawan banyak muncul dalam dekorasi pada banyak
sekali artefak. Desain geometris pada tembikar dari abad kedelapan SM
menggambarkan adegan-adegan dari siklus Troya selain daripada petualangan
Herakles. Pada masa-masa yang saling berkelanjutan—yaitu periode Arkais,
Klasik, dan Hellenistik—muncul berbagai sumber mitologi Yunani, seperti dari
Homeros. Sumber-sumber itu menambah berbagai bukti yang sudah ada.[2]
Mitologi
Yunani telah banyak memengaruhi budaya, seni, dan sastra dunia Barat dan terus
menjadi bagian dari warisan dan bahasa Barat. Sejak masa kuno hingga sekarang,
banyak penyair dan seniman yang mengambil inspirasi dari mitologi Yunani, dan
menemukan banyak relevansi dan makna kontemporer dalam tema-tema mitologi
Yunani.[3]
|
Sumber
Informasi mengenai mitologi
Yunani yang diketahui pada masa sekarang sebagian besar diperoleh dari karya
sastra Yunani dan penggambaran pada media visual yang berasal dari Periode
Geometrik, yaitu sekitar abad 900-800 SM.[4]
Sastra
Kiri:
Sampul depan Iliad
edisi bahasa Katala (1879), diterjemahkan oleh Conrad Roure. Kanan: Sampul
depan Iliad edisi bahasa Indonesia (2011), diterjemahkan oleh Asep
Rachmatullah. Iliad karya Homeros merupakan salah satu naskah kuno
mengenai mitologi Yunani yang paling terkenal.
|
Narasi mitis memainkan peranan penting dalam hampir
setiap genre sastra Yunani. Meskipun demikian, satu-satunya buku pedoman
mitografi umum yang masih bertahan dari masa antikuitas Yunani hanyalah
Bibliotheke buatan Pseudo-Apollodoros. Karya itu berusaha mendamaikan
kisah-kisah kontradiktif dari para penyair serta menyediakan ikhtisar lengkap
mengenai legenda kepahlawanan dan mitologi Yunani tradisional.[5] Apollodoros
hidup pada tahun 180–120 SM dan banyak menulis mengenai topik tersebut.
Tulisan-tulisannya kemungkinan membentuk dasar bagi karya-karya selanjutnya.
Akan tetapi Bibliotheke menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi lama
setelah Apollodoros meninggal, karena itulah pembuatnya dinamai
Pseudo-Apollodoros.
Di antara sumber-sumber sastra terawal adalah dua
wiracarita karya Homeros, yaitu Iliad dan Odisseia. Para penyair lainnya ikut
membuat wiracarita yang melengkapi Siklus Epik, namun sajak-sajak ini hampir
keseluruhannya telah hilang. Ada pula kumpulan sajak yang dinamai Himne
Homeros. Akan tetapi, terlepas dari namanya, Himne Homeros tidak punya kaitan
langsung dengan Homeros. Sajak-sajak dalam Himne Homeros adalah himne-himne
paduan suara yang berasal dari bagian yang lebih awal dari apa yang disebut
sebagai Zaman Lira.[6] Hesiodos, yang diperkirakan hidup sezaman dengan
Homeros, menulis karya berjudul Theogonia ("Asal-usul Para Dewa).
Wiracarita tersebut merupakan salah satu naskah terlengkap mengenai mitos
Yunani awal dan menceritakan tentang penciptaan dunia; asal muasal para dewa,
Titan, dan Gigant; selain juga menguraikan silsilah, folklor, dan mitos
etiologi. Karya Hesiodos lainnya, yaitu Erga kai Hemerai, merupakan puisi
didaktik yang bercerita mengenai kehidupan bertani, selain juga meliputi mitos
Prometheus, Pandora, serta Lima Zaman Manusia. Hesiodos juga memberi nasehat
bagaimana cara supaya dapat berhasil dalam menjalani hidup di dunia yang
berbahaya ini, yang oleh para dewa dibuat menjadi lebih berbahaya.[2]
Para penyair lira sering mengambil tema-tema dari
mitologi dan memasukkannya ke dalam sajak-sajak mereka. Namun mereka
menyampaikannya dengan cara yang kurang naratif dan cenderung lebih alusif.
Para penyair lira Yunani di antaranya adalah Pindaros, Bakkhylides, Simonides
dan penyair pedesaan semacam Theokritos atau Bion. Masing-masing mengisahkan
insiden-insiden mitologi secara individual.[7] Selain digunakan dalam sajak
lira, tema-tema dalam mitologi Yunani juga sangat sentral bagi drama-drama
Athena. Penulis drama tragedi seperti Aiskhilos, Sofokles, dan Euripides
mengambil sebagian besar plot cerita mereka dari mitos-mitos mengenai zaman
kepahlawanan dan Perang Troya. Banyak cerita tragedi (misalnya cerita Agamemnon
dan anak-anaknya, Oidipus, Iason, Medeia, dll) yang bentuk klasiknya muncul
dalam drama-drama tragedi itu. Penulis drama Aristofanes juga menggunakan mitos
Yunani dalam dramanya, di antaranya dalam drama yang berjudul Ornithes
("Burung") dan Batrakhoi ("Katak").[8]
Sejarawan Herodotos dan Diodoros Sikolos, serta
geografer Pausanias dan Strabo, melakukan perjalanan keliling dunia Yunani dan
mencatat cerita-cerita yang mereka dengar. Sebagai hasil dari perjalanannya,
mereka berhasil menjabarkan banyak sekali legenda dan mitos lokal dalam
tulisan-tulisan mereka, kadang mereka memberikan versi alternatif yang kurang
dikenal.[7] Herodotos secara khusus mempelajari berbagai tradisi yang dia kenal
dan menyimpulkan bahwa banyak kisah mitologis yang sebenarnya memiliki
asal-usul historis dari perseturuan antara Yunani dan Dunia Timur.[9][10]
Herodotos berupaya untuk mempertemukan asal-usul dan pencampuran konsep budaya
yang berbeda itu.
Sajak-sajak dari zaman Hellenistik dan Romawi kuno
kebanyakan disusun untuk tujuan sastra ketimbang untuk kultus pemujaan.
Meskipun demikian, semua itu mengandung banyak rincian penting yang mungkin
saja dapat hilang. Dalam kategori ini, terdapat karya-karya dari :
- Para penyair Romawi, contohnya Ovidius, Statius, Valerius Flaccus, Seneca, dan Virgilus dengan uraian dari Servius.
- Para penyair Yunani dari periode Antik Akhir, yaitu Nonnos, Antoninos Liberalis, dan Kointos Smyrnaios.
- Para penyair Yunani dari periode Hellenistik, antara lain Apollonios dari Rodos, Kallimakhos, Pseudo-Eratosthenes, dand Parthenios.
- Para penulis novel dari Yunani dan Romawi, di antaranya adalah Apuleius, Petronius, Lollianus, dan Heliodoros.
Naskah kuno Fabulae dan Astronomica buatan penulis
Romawi, Pseudo-Hyginus, adalah dua kompendium mitos non-puitis yang sangat
penting. Eikones buatan Filostratos Tua dan Filostratos Muda serta Ekhpraseis
buatan Kallistratos adalah dua sumber sastra lainnya yang juga mengambil tema
dari mitologi.
Amphora di Museum Arkeologi Nasional Athena
yang menggambarkan dewi Athena.
Pada
akhirnya, Arnobius
dan sejumlah penulis Yunani Bizantium menyediakan rincian penting mitos,
kebanyakan diambil dari karya-karya Yunani lebih awal yang kini telah hilang.
Naskah kuno yang memelihhara mitos itu di antaranya adalah leksikon buatan Hesikhios, Suda, dan
risalah-risalah buatan Yohanes Tzetzes dan Eustathios. Pandangan moral Kristen
terhadap mitologi Yunani terangkum dalam perkataan, ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος / en panti muthōi kai to Daidalou musos
("Dalam setiap mitos ada pencemaran Daidalos"). Dalam gaya ini, Suda yang ensiklopedis
menceritakan peran Daidalos dalam rangka memuaskan "nafsu berahi" Pasifae yang
"tak wajar" kepada banteng
kiriman Poseidon: "Karena asal mula dan kesalahan dialamatkan kepada
Daidalos dan dia dibenci untuk itu, dia pun menjadi subyek pepatah itu."[11]
Arkeologi
Penemuan Peradaban Mykenai
oleh arkeolog amatir Jerman, Heinrich Schliemann, pada abad kesembilan belas,
serta penemuan Peradaban Minoa di Kreta oleh arkeolog Britania, Sir Arthur
Evans, pada abad kedua puluh, banyak membantu dalam menjelaskan beragam
pertanyaan tentang epik Homeros dan menyediakan bukti-bukti arkeologis bagi
banyak rincian mitologis mengenai para dewa dan pahlawan Yunani. Sayangnya,
bukti tentang mitos dan ritual di situs-situs arkeologi Mykenai seluruhnya bersifat
monumental, seperti misalnya naskah Linear B yang digunakan terutama untuk
mencatat invantaris, meskipun pada naskah tersebut ditemukan juga nama-nama
dewa dan pahlawan. Linear B sendiri merupakan suatu bentuk tulisan Yunani yang
sangat kuno yang ditemukan di Kreta dan di Yunani daratan.[2]
Desain geometris pada
tembikar dan gerabah dari abad kedelapan SM menggambakan adegan-adegan dari
siklus Troya, selain juga petualangan Herakles.[2] Penggambaran mitos secara
visual menjadi penting karena dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa banyak
mitos Yunani yang diceritakan melalui vas lebih dulu daripada melalui karya
sastra; dari dua belas tugas Herakles, misalnya, hanya tugas menangkap Kerberos
saja yang diceritakan dalam karya sastra kontemporer.[12] Alasan lainnya adalah
bahwa sumber-sumber visual seringkali menggambarkan adegan mitos dan mitis yang
tidak dikisahkan dalam sumber sastra manapun. Dalam beberapa kasus,
penggambaran awal mitos dalam seni geometris lebih dulu muncul daripada
penggambarannya pada sajak arkais akhir, dan perbedaan waktunya bisa mencapai
beberapa abad.[4] Pada periode Arkais (750–500 SM), Klasik (480–323 SM), dan
Hellenistik (323–146 SM), banyak bermunculan penggambaran pada tembikar yang
memperlihatkan adegan-adegan dari karya Homeros dan adegan-adegan mitologis
lainnya, yang ikut melengkapi bukti sastra yang sudah ada.[2]
Sejarah
Mitologi
Yunani telah berkembang seiring waktu demi menyesuaikan dengan perkembangan
budaya Yunani itu sendiri, yang mana mitologi, baik secara terang-terangan
maupun dalam asumsi-asumsi tak terucapkan, merupakan suatu indeks perubahan.
Dalam bentuk sastra mitologi Yunani yang masih tersisa, seperti dapat ditemukan
kebanyakan pada akhir perubahan yang progresif, pada dasarnya bersifat politik,
seperti yang dikemukakan oleh Gilbert Cuthbertson.[13]
Penghuni
Semenanjung Balkan yang lebih awal merupakan masyarakat agraris yang menganut
Animisme dan mempercayai keberadaan roh pada setiap unsur alam. Dalam perkembangan
selanjutnya, roh-roh yang samar-samar itu diberikan wujud manusia dan terlibat
dalam mitologi lokal sebagai dewa.[14] Kemudian muncul suku-suku dari sebelah
utara semenanjung Balkan yang datang menyerang. Dalam invasinya, mereka membawa
serta kepercayaan baru yang di dalamnya terdapat pantheon dewa-dewa baru, yang
didasarkan pada penaklukan, keberanian dalam perang, dan kepahlawanan yang
kejam. Dewa-dewa yang telah lebih dulu ada kemudian menyatu dengan dewa
sembahan para penyerang yang lebih kuat. Semantara dewa-dewa yang tidak
terasimilasi akhirnya menghilang dan tak lagi dianggap penting.[15]
Zeus Mencium
Ganimede (1758-59)
oleh Anton Raphael Mengs. Kisah Zeus dan Ganimede adalah
salah satu contoh hubungan antarlelaki dalam mitologi Yunani.
Setelah
pertengahan periode Arkais, mitos mengenai hubungan cinta dan seksual antara
dewa pria dengan manusia pria muncul lebih sering, mengindikasikan adanya
perkembangan yang paralel dengan pejantanan pedagogis (Eros paidikos, παιδικός
ἔρως), yang dpercaya telah diperkenalkan sekitar tahun 630 SM. Pada akhir abad
kelima SM, para penyair telah memberikan setidaknya satu eromenos (pemuda
remaja yang menjadi pasangan untuk hubungan seksual) untuk setiap dewa yang
penting kecuali dewa Ares. Kekasih pria juga dimiliki oleh para tokoh-tokoh
manusia yang legendaris.[16] Mitos yang telah ada sebelumnya, seperti misalnya
hubungan persahabatan antara Akhilles dan Patroklos, juga dijadikan hubungan
cinta sesama jenis.[17] Fenomena ini dimulai oleh para penyair Iskandariyah,
dan kemudian dilakukan juga oleh para mitografer yang lebih umum di Kekaisaran
Romawi awal. Mereka sering mengadaptasi ulang cerita-cerita mitologi Yunani
dengan gaya itu.
Pencapaian
dibuatnya wiracarita adalah untuk menciptakan siklus cerita dan, sebagai
akibatnya, untuk mengembangkan pemahaman baru mengenai kronologi mitologis.
Jadi mitologi Yunani terungkap sebagai fase dalam perkembangan dunia dan
manusia.[18]
Sementara kontradiksi-diri dalam cerita-ceritanya menjadikan tidak mungkin
untuk adanya garis waktu yang mutlak, namun suatu kronologi yang mendekati itu
dapat dilihat. "Sejarah dunia" mitologi yang dihasilkan kemudian,
dapat dibagi menjadi tiga atau empat periode yang cakupannya cukup luas, yaitu:
- Mitos asal usul atau zaman para dewa (Theogonia, "kelahiran para dewa"): mitos tentang asal mula dunia, para dewa, dan umat manusa.
- Zaman ketika dewa dan manusia hidup bersama-sama: kisah-kisah mengenai interaksi awal antara para dewa, setengah dewa, dan manusia.
- Zaman para pahlawan (zaman kepahlawanan), ketika intervensi para dewa mulai berkurang. Kisah yang terakhir dan terhebat dari legenda kepahlawanan adalah cerita Perang Troya dan kisah-kisah setelahnya, yang oleh beberapa sejarawan dipisahkan menjadi periode keempat yang terpisah.[19]
Walaupun
zaman para dewa banyak menarik minat para para pelajar kontemporer untuk
mempelajari mitologi Yunani, namun para penulis Yunani Kuno pada masa Arkais
dan Klasik jelas-jelas lebih menyukai zaman kepahlawanan. Mereka juga membuat
suatu kronologi dan catatan pencapaian manusia setelah pertanyaan mengenai
bagaimana dunia ini berwujud, terjelaskan. Sebagai contoh, Iliad dan Odisseia
yang heroik jauh lebih panjang dan terkenal daripada Theogonia dan Himne
Homeros, yang lebih berfokus pada kisah para dewa. Di bawah pengaruh Homeros,
"pemujaan pahlawan" berujung pada penataan ulang kehidupan spiritual,
yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan ranah kekuasaan para dewa dari ranah
kekuasaan para pahlawan yang telah meninggal, serta pemisahan ranah Khthonik dari
ranah Olimpus.[20]
Dalam Erga
kai hemerai. Hesiodos menggunakan skema Empat Zaman (atau Ras) Manusia. Keempat
zaman yang disebutkan olehnya yaitu Zaman Emas, Zaman Perak, Zaman Perunggu,
dan Zaman Besi. Semua zaman atau ras tersebut merupaan ciptaan dewa yang
berbeda-beda, Zaman Emas berlangsung selama kekuasaan Kronos, sedangkan Zaman
Perak terjadi di bawah pemerintahan Zeus. Hesiodos kemudian menambahkan Zaman
(atau Ras) Pahlawan tepat setelah Zaman Perunggu. Zaman terakhir adalah Zaman
Besi, yang merupakan periode kontemporer dimana Hesiodos hidup. Hesiodos
menceritakan bahwa Zaman Besi adalah masa yang terburuk. Kejahatan yang ada di
dunia dijelaskan melalui mitos Pandora, ketika semua hal buruk, seperti
misalnya penyakit, kejahatan, kesengsaraan, dll, yang tersimpan dalam Kotak
Pandora berhasil keluar dan menjangkiti umat manusia. Namun di dalam kotak
tersebut masih tersisa satu benda yang sulit untuk keluar, yakni harapan.[21]
Sementara itu dalam karyanya, Metamorphoses, Ovidius juga mengikuti konsep
Hesiodos dan mengisahkan empat zaman yang dialami oleh umat manusia.[22]
Menurut
Edith Hamilton, karakteristik mitologi Yunani adalah adanya upaya orang Yunanii
kuno untuk mengurangi tingkat kebiadaban dalam mitologi mereka. Selain itu
mitologi Yunani tidak banyak berisi hal-hal supranatural; tidak ada penyihir
pria dan hanya ada dua orang penyihir wanita, juga tidak ada cerita mengenai
hantu yang menakutkan atau astrologi yang mempengaruhi nasib manusia.[23]
Mitologi
Zaman para dewa
Pengebirian
Uranus: lukisan
dinding oleh Vasari & Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala di Cosimo I,
Palazzo Vecchio, Firenze).
Kosmogoni dan kosmologi
"Mitos asal-usul"
atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam
semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal
manusia.[24] Versi yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun
merupakan suatu kisah filosofis mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan
oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia. Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas
yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (dewi
bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros
(Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). Niks
bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera
(Siang).[25] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan Uranus (dewa langit) dan
Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka,
terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios,
Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu
Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia
dan Uranus memutuskan bahwa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak
Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata satu)
dan Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang
mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.[26] Gaia marah
atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus.
Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",[25]
melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri.
Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak
sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak
buahnya.
Kronos
Menelan Anaknya,
menggambarkan Kronos yang sedang memakan bayi Poseidon.
Lukisan oleh Peter Paul Rubens.
Kisah
mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos
dikonfrontasi oleh putranya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah
mengkhianati ayahnya, dia takut bahwa keturunannya akan melakukan hal yang
sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea
marah atas tindakan suaminya dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan.
Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan memberikan batu
yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah
dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang
mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus
lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para
dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang
dibebaskan oleh Zeus) serta melalui Titanomakhia
(perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh
kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[27]
Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.
Amphora berfigur
hitam yang menggambarkan dewi Athena sedang "lahir" dari kepala Zeus, yang sudah
menelan Metis,
sementara itu dewi kelahiran, Eileithiia, berada di bagian kanan, 550–525 SM (Museum
Louvre, Paris).
Zeus juga
dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahwa putra
dari istri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka
Zeus pun menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah
menelan Metis, Zeus mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari
kepala Zeus terlahirlah dewi Athena yang sudah mengenakan baju perang lengkap.
"Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa Zeus tidak
"digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap
tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahwa ketika kisah
ini muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang
sudah berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu
kemudian berubah menjadi pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya
sendiri terjadi tanpa konflik.
Orang Yunani
yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahwa theogonia (cerita kelahiran
para dewa) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikal—dan menghubungkan
banyak kekuasaan di dalamnya. Orfeus, seorang penyair arketipal, juga merupakan
seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios,
dikisahkan bahwa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan
lautan dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para dewa dunia
bawah dalam perjalanannya ke dunia bawah. Dalam Himne Homeros untuk Hermes,
ketika Hermes menciptakan lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah
bernyanyi tentang kelahiran para dewa.[28] Theogonia buatan Hesiodos bukan
hanya naskah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, namun
juga naskah terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais.
Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para Mousai.
Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk
sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus, Mousaios, Epimenides, Abaris,
dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini
pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada
indikasi bahwa Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[29]
Namun, informasi mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit,
selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh
para anggotanya ketika kepercayaannya sedang dilakukan. Setelah banyak
kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang masih mengetahui
ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul
pada aspek-aspek yang cukup umum.
Penggambaran
yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih mungkin
disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bagian dari karya-karya
ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan
baru-baru ini terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah
Papirus Derveni, yang kini membuktikan bahwa setidaknya pada abad kelima SM ada
sebuah sajak theogonia-kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan
Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat
ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi malam) sebagai perempuan permulaan
utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.[30] Disebutkan pula bahwa
Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.
Para
kosmolog filsafat dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun
pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk
beberapa waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat
dari sajak-sajak Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah
piringan datar yang terapung di samudra luas yang disebut Okeanos dan di bagian
atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang.
Matahari (Helios) mengarungi langit dengan kereta perangnya pada siang hari dan
berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit,
sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi
sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan
masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang
dipimpin oleh dewa Hades.[31] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya
yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.
Pantheon Yunani
Patung Poseidon di Museum Arkeologi Nasional Athena.
Poseidon merupakan salah dewa Olimpus.
Berdasarkan
mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa dan
dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah
para dewa Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan
Zeus. Gagasan yang membatasi bahwa jumlahnya harus dua belas kemungkinan
berasal dari masa modern.[32] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga
menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewa-satir Pan dan para nimfa (peri
alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri
terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa pohon), dan Nereid
(nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para
Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan
kejahatan terhadap keluarga sendiri.[33] Untuk menghormati Pantheon Yunani
Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para
dewa).[34] Gregory Nagy menganggap bahwa "Himne Homeros adalah suatu pembuka
sederhana (dibandingkan dengan Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan
untuk satu dewa yang berbeda-beda'.[35]
Dalam
keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh
jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert,
ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani
berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[36]
Menurut Edith Hamilton, penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani
kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari penampakan
"keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh
orang Yunani kuno.[23] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa
Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling
penting adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat
terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian
adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti
halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia secara
terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa
terus-menerus diperbaharui.[37] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang
Yunani tetap menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi.
Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut lebih mulia dari pada dewa.[23]
Setiap dewa
masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,
keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para
dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara
satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa,
atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang
membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka
yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang artinya adalah
"Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat
mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa,
kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani
Klasik.
Patung Dionisos dan satir. Dibuat dari
marmer. Salinan Romawi
(abad ke-2 M) dari patung asli Yunani. Dionisos adalah dewa anggur dan merupakan
salah satu dewa yang memiliki karakteristik yang kompleks.
Dalam
keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh
jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter
Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para
dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun
konsep".[36]
Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki
banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahwa para
dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang
sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik
paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda,
dihasilkan dari konsumis nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah
di pembuluh para dewa terus-menerus diperbaharui.[37]
Setiap dewa
masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,
keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi penggambaran para
dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara
satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa,
atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang
mengidentifikasikan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan
mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang
artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai".
Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi
dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada
sebelum masa Yunani Klasik.
Sebagian
besar dewa diasosiasikan dengan apek tertentu dalam kehidupan manusia.
Contohnya, Afrodit
adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa orang
mati, dan Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[38]
Beberapa dewa, misalnya Apollo dan Dionisos,
menunjukkan gabungan fungsi dan kepribadian yang kompleks, sedangkan yang
lainnya, seperti Hestia
(secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios (secara
harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi.
kuil-kuil
yang paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja, yaitu
dewa-dewa yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan
tetapi, cukup lazim pula bahwa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki
pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para
dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal
serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di
daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan pahlawan
(atau setengah
dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.
Zaman para dewa dan manusia
Ada masa
ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur
tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa
itu, ada masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa
tersebut adalah masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat
bergaul lebih bebas daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai
tema tersebut muncul dalam Metamorphoses
karya Ovidius.
Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik, yaitu cerita
cinta, dan cerita hukuman.[39]
Seorang Mainad yang sedang
marah, membawa sebuah thirsos dan sekor macan tutul,
dengan seekor ular membelit di kepalanya. Tondo dari Kylix Attika Yunani Kuno
berlatar putih, 490-480 SM.
Kisah cinta
seringkali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau
perkosaan yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari
hubungan antara dewa dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering
disebut pahlawan. Kisah-kisah yang ada secara umum
menunjukkan bahwa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang perlu
dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.[40]
Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria,
seperti misalnya dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan
bahwa dewi Afrodit berhubungan seksual dengan Ankhises dan
melahirkan Aineias.[41]
Kisah jenis
kedua adalah kisah hukuman, yaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau
penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus
mencuri api dari para dewa, ketika Tantalos
mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan memberikannya pada anak
buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para dewa, ketika
Prometheus atau Likaon
menciptakan ritual kurban, ketika Demeter mengajarkan pertanian dan
Misteri
kepada Triptolemos,
atau ketika Marsias
menciptakan aulos
dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahwa kisah
Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah
manusia".[42]
Suatu fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas
menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja Thrakia, Likurgos. Sang
raja terlambat menyadari bahwa Dionisos adalah seorang dewa. Akibatnya dia
harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berujung kematian.[43]
Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia,
juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.[44]
Dalam drama tragedi lainnya, yaitu Bakkhai gubahan
Euripides, dikisahkan bahwa raja Thebes,
Pentheus,
dihukum oleh Dionisos karena dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para
Mainad,
sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[45]
Dalam cerita
lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[46]
serta mengulangi tema yang sama, dikisahkan bahwa Demeter berusaha
mencari putrinya, Persefone. Dalam pencariannya, Demeter menyamar menjadi
seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai
balasan atas kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai
dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan
tetapi Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya karena ibu sang anak, Metaneira,
melihat Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan
Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.[47]
Zaman Pahlawan
Lukisan
dinding di Pompeii
yang menggambarkan Perseus dan Andromeda. Perseus adalah pahlawan Yunani dari generasi
awal.
Periode
ketika para pahlawan hidup disebut dengan istilah Zaman
Pahlawan.[48]
Sajak-sajak epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar
pahlawan atau peristiwa tertentu, serta memunculkan hubungan antara para
pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; ceita-cerita itu kemudian disusun
secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat
mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling
berurutan".[18]
Setelah
munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan
disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan
juga disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[20]
Berlawanan dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan
tidak dibatasi dan tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi
dewa besar yang dilahirkan, namun pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang
muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahwa
pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.[20]
Peristiwa-peristiwa
monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari Zaman
Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar, yaitu
ekspedisi para
Argonaut, Siklus Thebes dan Perang
Troya.[49]
Herakles dan para Heraklid
Beberapa
sejarawan percaya[50]
bahwa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin terdapat manusia
sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos. Beberapa
sejarawan lainnya berpendapat bahwa kisah Herakles adalah alegori untuk
perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[51]
Sementara yang lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa
budaya lainnya, dan menunjukkan bahwa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal
dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal
sebagai putra dari Zeus dan Alkmene, cucu perempuan Perseus.[52]
Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema cerita
rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles
untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan
disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering
diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang
tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou,
drama Herakles gubahan Euripides
merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama Euripides
lainnya".[53]
Dalam sastra dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat kuat dan
memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering
membawa gada.
Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno, pertarungannya dengan Singa Nemea
diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahwa dia adalah salah stau
pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[54]
Herakles dan Kuda-kuda betina Diomedes. Patung kecil buatan
J. M. Félix Magdalena.
Herakles
juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai Herkules, dan
seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti
halnya "Herakleis" untuk orang Yunani.[54]
Di Italia, dia
disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang, meskipun beberapa orang
lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta penyelamatan dari
marabahaya.[52]
Herakles
mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur
resmi para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran
bagi suku Doria untuk bermigrasi ke Peloponnesos.
Hillos, pahlawan
eponim dari satu phyle
Doria, menjadi putra Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid.
Heraklid sendiri merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan
Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos,
dan Telefos.
Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta dan Argos. Menurut
legenda, mereka mengklaim bahwa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur
mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai
"Invasi
Doria". Para raja Lydia, dan kelak Makedonia,
sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan para
Heraklid.[55]
Beberapa
pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerofon,
memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka
juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian. Petualangan mereka
juga menyentuh batas-batas dongeng, karena mereka menghadapi monster-monster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur.
Petualangan Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip
dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang
sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang
berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.[56]
Argonaut
Untuk detail lebih lanjut tentang
topik ini, lihat Argonaut.
Satu-satunya
wiracarita hellenistik yang masih bertahan, yaitu Argonautika
buatan Apollonios dari Rodos (wiracaritawan,
sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah), menceritakan
tentang pelayaran Iason
dan para Argonaut
untuk memperoleh Bulu Domba Emas dari tanah Kolkhis yang
mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh raja Pelias di istana
sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya.
Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason
dalan kapal Argo
untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam
rombongan Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur; Atalanta, sang
pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri
menyaingi Iliad
dan Odisseia.
Pindaros, Apollonios dan Apollodoros
berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam
kelompok perjalanan Argonaut.[57]
Meskipun
Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut
terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan
antara Odisseia dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian
pengembaraan Odisseus
mungkin didasarkan pada cerita Argonaut).[58]
Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden
dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut Hitam.[59]
Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan
dengan sejumlah legenda lokal. Cerita Medeia, misalnya,
mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .[60]
Wangsa Atreus
Oidipus dan sphinx, tondo dari kylix Attika berfigur
merah, 480–470 SM. Oidipus merupakan salah satu pahlawan yang muncul dalam Siklus
Thebes.
Pada periode
antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang cukup
dikenal karena kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan Atreus dan Thiestes di
Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua
dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos)
terdapat suatu masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah
mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta
keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita
tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.[61]
Siklus Thebes
Lihat pula: Siklus
Thebes dan Tujuh Melawan Thebes
Siklus
Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan
dengan Kadmos,
pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan
perbuatan-perbuatan Laios
dan Oidipus di
Thebes. Jadi, Siklus Thebes adalah serangkaian cerita yang berujung pada
penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para Epigoni.[62]
Tidak
diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal.
Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal nampaknya mengisahkan bahwa dia
melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahwa Iokaste adalah
ibunya, dan kemudian menikahi istri keduanya, yang melahirkan anak-anak
Oidipus. Rincian kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang
digambarkan melalui drama-drama tragedi, misalnya Oidipus
Sang Raja gubahan Sofokles serta naskah-naskah mitologi selanjutnya.[63]
Perang Troya
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Perang
Troya
Lihat pula: Siklus Epik
Mitologi
Yunani berpuncak pada Perang Troya serta peristiwa-peristwia setelahnya.
Perang Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troya di Asia Kecil.
Dalam karya-karya Homeros, misalnya Iliad, cerita
utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan tema-tema individunya
baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang Troya juga
menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi karena adanya kisah mengenai Aineias, seorang
pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troya dihancurkan.
Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian
menjadi kota Roma.
Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus. Buku
satu dalam Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai
penghancuran Troya.[64]
Sumber lainnya mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa
Latin yang ditulis atas nama Diktis
Kretensis dan Dares Phrygios.[65]
Lukisan
dinding di istana Achilleion yang menggambarkan Akhilles sedang
menyeret jenazah Hektor
menggunakan kereta perangnya. Konflik antara Akhilles dan Hektor
merupakan bagian penting dari Iliad, yang menceritakan tentang Perang
Troya.
Siklus
Perang Troya, suatu kumpulan wiracarita
mengena Perang Troya, dimulai dengan sejumlah peristiwa yang kemudian berujung
pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris
dan apel
emas Kallistinya, Keputusan
Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di Aulis. Untuk mendapat
Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah
komando saudara Menelaos,
yakni Agamemnon,
raja Argos atau Mykenai. Namun
pihak Troya tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus
menggunakan cara-cara kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun
kesepuluh dalam Perang Troya, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan Akhilles, yang
merupakan salah satu prajurit Yunani terhebat. Iliad juga menceritakan
kematian Patroklos,
sahabat dan kekasih pria Akhilles, yang mengabaikan nasehat Akhilles sehingga
pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh Hektor, putra
sulung Priamos.
Akhilles marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak
Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan, yaitu Penthesileia,
ratu suku
Amazon, dan Memnon, raja Ethiopia dan
putra Eos, dewi fajar.[66]
Akhilles membunuh keduanya, namun kemudian Paris berhasil membunuh Akhilles
dengan cara memanahnya di bagian tumitnya. Tumit Akhilles adalah satu-satunya
bagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat
menaklukan Troya, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium
(patung kayu Athena) dari kuil di Troya. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi
Athena, pasukan Yunani membuat sebuah kuda kayu
raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya. Sebenarnya Kassandra,
putri Priamos, sudah memperingatkan bahwa kuda itu berbahaya, akan tetapi
rakyat Troya dipengaruhi oleh Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri
dari pasukan Yunani. Rakyat Troya pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota
sebagai persembahan untuk dewi Athena. Laokoon, seorang
pendeta mencoba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan oleh ular
laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troya,
sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka
gerbang Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos dan
semua putranya dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual
ke berbagai kota di Yunani.
Dua
wiracarita kuno, yaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia
karya Homeros, menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai
Perang Troya (termasuk pengembaraan Odisseus dan
pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias diceritakan dalam
wiracarita Aeneid.[67]
Siklus Perang Troya juga meliputi kisah-kisah petualangan anak-anak dari para
tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya Orestes dan Telemakhos.[66]
Perang Troya
memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para seniman
Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah
metope di kuil Parthenon
yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini, yang mengambil
tema dari Siklus Troya, mengindikasikan bahwa ksiah itu sangat penting bagi
peradaban Yunani Kuno.[67]
Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan sastra Eropa posterior.
Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropa Abad Pertengahan.
Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan dan
cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya
mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria,
kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benoît de Sainte-Maure (Roman de Troie
[Roman Troya, 1154–60]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano
[Mengenai Perang Troya, 1183]) menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis
kembali versi standar yang mereka temukan dari naskah kuno karya Diktis
dan Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti nasehat-nasehat Horatius dan
contoh-contoh Virgilus,
yaitu mereka menulis kembali sajak Troya dan bukannya menulis sesuatu yang
benar-benar baru.[68]
Konsepsi
Mitologi
merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.[69]
Orang Yunani Kuno memandang mitologi sebagai bagian dari sejarah mereka. Mereka
menggunakan mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya,
permusuhan dan persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita
dipercaya sebagai keturunan dewa atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno
yang meragukan kebenaran di balik kisah Perang Troya dalam Iliad dan Odisseia.
Menurut Victor Davis Hanson, seorang ahli sejarah
militer, kolomnis,
penulis esai politik dan mantan profesor Klasika, serta
John Heath, profesor Klasika di Santa Clara University, pengetahuan yang
mendalam yang terdapat pada epos Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai
basis akulturasi mereka. Homeros merupakan "pendidikan Yunani"
(Ἑλλάδος παίδευσις), dan sajak-sajaknya merupakan "buku".[70]
Filsafat
Plato dalam lukisan
dinding Mazhab Athena karya Raphael
(kemungkinan disesuaikan dengan wajah Leonardo
da Vinci). Plato adalah filsuf yang membuang studi Homeros, serta kisah-kisah tragedi
dan tradisi mitologi terkait, dalam utopia Republiknya.
Setelah
kebangkitan filsafat,
sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib mitos
menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan
sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah
yang dicatat oleh Thukydides.[71]
Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan
dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.[6]
Beberapa
filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan
bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad
ke-6 SM. Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa
"semua sifa manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri,
berzina, dan saling menipu satu sama lain".[72]
Pemikiran
seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and Hukum.
Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik.
Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan,
pencurian, dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak
bermoral. Plato memandang mitos sebagai "obrolan istri-istri tua".[73]
Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastra.[6]
Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.[70]
Sementara
itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan
menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap
apa yang tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita
... Tetapi tidak ada gnanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan
menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan
membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika mereka secara saksama".[71]
Namun
demikian, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari
pengaruh mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates
didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros tradisional. Plato menggunakannya
untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:[74]
“
|
Namun
barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu,
Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini
berada dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus
memberinya jawaban yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan,
jika Anda berpikir bahwa seorang manusia yang memiliki bahkan sedikit saja
kebaikan harus mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya
berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar atau
salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena berdasarkan
argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di Troya, termasuk
putra Thetis,
yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa
ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia
begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,
Putraku, jika kau membalaskan
kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera
meninggal; karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu.
(Homeros, Iliad, 18.96)
Dia,
ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan lebih
takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan dendam
sahabatnya, dan lalu dia berkata,
Segara saja aku mungkin akan mati,
setelah melakukan pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin
berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung, sebuah beban
untuk bumi.
|
”
|
Hanson dan
Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak banyak
diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[70]
Mito-mitos lama dijaga untuk tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus
berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi tema utama dalam seni lukisan
dan seni patung.[71]
Lebih
sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali
bermain-main dengan tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui
suara-suara karakternya dia menyisipkan sedikit keraguan kepada para
penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya diambil, tanpa
kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban
untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama
meragukan mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-keberatan
yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Xenokrates,
yaitu bahwa para dewa, seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno, secara kasar
terlalu antropomorfis.[72]
Rasionalisme Hellenistik
Selama periode Hellenistik, mitologi menjadi
pengetahuan yang elit dan penuh dengan prestise dan menunjukkan bahwa
pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu. Pada waktu yang sama,
rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih disebarluaskan.[75]
Mitografer Yunani Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar historis yang
aktual untuk makhluk dan peristiwa mitologi.[76]
Meskipun karya aslinya, Kitab Keramat, sudah hilang, namun banyak dari
isinya yang kita ketahui karena telah dicatat oleh Diodoros dan Lactantius.[77]
Rasionalisme Romawi
Patung
kepala Cicero di Kopenhagen. Cicero melihat dirinya sebagai pembela tatanan yang teratur,
terlepas dari skeptisisme pribadinya terhadap mitos dan kecenderungannya yang
lebih menyukai konsepsi para dewa yang lebih bersifat filosofis.
Merasionalisasi
hermeneutika
mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa Kekaisaran
Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari filsafat Stoik dan Epikurean.
Orang-orang Stoik memberikan penjelasan bahwa para dewa dan pahlawan adalah
fenomena fisika, sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan
rasional bahwa tokoh-tokoh mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada
saat yang sama, orang-orang Stoik dan Neoplatonis
mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologis, kadang
didasarkan pada etimologi Yunani.[78]
Melalui pesan Epikureannya, Lucretius berusaha membuang ketakutan takhayul dari pikiran
warga Romawi.[79]
Livius juga skeptis
terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahwa dia tidak berniat membuat
keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).[80]
Tantangan untuk bangsa Romawi yang memiliki rasa yang kuat dan apologetis
terhadap radisi keagamaan adalah untuk mempertahankan
tradisi itu sambil mengakui bahwa itu seringkali menjadi asal mula lahirnya
takhayul. Sejarawan Varro, yang menganggap bahwa agama merupakan
suatu institusi manusia dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal
baik dalam msyarakat, melakukan studi yang teliti dan mempelajari asal muasal
kultus keagamaan. Dalam karyanya Antiquitates Rerum Divinarum (yang
sudah hilang namun pendekatan umumnya dapat kita perkirakan dari karya Augustinus, Kota Tuhan)
Varro berpendapat bahwa sementara orang yang percaya takhayul takut terhadap
dewa, namun orang yang beragama menganggap para dewa sebagai orang tua mereka.[79]
Dalam karyanya, dia membedakan para dewa menjad tiga jenis:
- Dewa alam: personifikasi fenomena alam, misalnya hujan, api, musim.
- Dewa para penyair: diciptakan oleh para penyair yang tidak bermoral untuk membangkitkan hawa nafsu.
- Dewa perkotaan: diciptakan oleh para legislator yang bijaksana untuk menenangkan dan mencerahkan rakyat.
Akademisi
Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia
menyatakan secara tegas bahwa mitos tak punya tempat dalam filsafat.[81]
Cicero juga
umumnya meremehkan mitos, namun, seperti Varro, dia berempati karena dia
mendukung agama negara dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai
seberapa jauh kelas sosial yang dipengaruhi oleh rasionalisme ini.[80]
Cicero menegaskan bahwa tidak seorangpun (bahkan orang lanjut usia dan
anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk mempercayai teror Hades atau keberadaan
Skilla, kentaur, atau
berbagai makhluk campuran lainnya,[82]
namun, di sisi lain, Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh
mengenai karakter orang-orang yang mudah percaya pada takhayul.[83]
De Natura Deorum adalah ikhtisar paling komprehensif mengenai jalan
pikiran Cicero.[84]
Penggabungan
Lihat pula: Mitologi
Romawi
Apollo
Belvedere, patung marmer buatan Romawi (antara 130–140 M), tiruan dari patung
perunggu Yunani (antara 330–320 SM). Dalam agama Romawi kuno, pemujaan dewa Apollo, yang
berasal dari Yunani, digabungkan dengan kultus pemujaan Sol
Invictus. Bangsa Romawi menyembah Sol Invictus sebagai pelindung spesial
kaisar, dan Sol Invitus menjadi dewa utama di Kekasairan Romawi sampai akhirnya
digantikan oleh agama Kristen.
Pada masa Romawi kuno,
lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi (penggabungan atau
pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal ini terjadi
karena bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan
tradisi mitologi Yunani kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi
mengadopsi ciri-ciri dewa Yunani yang menjadi padanan mereka.[80]
Dewa Zeus dan Yupiter merupakan salah satu contoh tumpang
tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan dua tradisi
mitologi, bangsa Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah
Timur. Hal ini yang semakin memperkuat proses sinkretisasi.[85]
Sebagai contohnya, kultus pemujaan matahari diperkenalkan di Romawi setelah
kaisar Aurelianus
sukses melaksanakan kampanye militer di Suriah. Dewa dari
Asia, yakni Mithras
(yang dapat disebut sebagai personifikasi matahari) dan Ba'al dipadukan
dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu dewa tunggal yang disebut Sol
Invictus, yang memiliki banyak atribut campuran dan dipuja dengan ritus
gabungan.[86]
Apollo kemungkinan semakin sering diidentikkan dalam agama dengan Helios atau
bahkan Dionisos, namun naskah-naskah mengenainya jarang memperlihatkan
perkembangan semacam ini. Ini barangkali menunjukkan bahwa mitologi dalam
sastra semakin lama semakin tidak berkaitan dengan kegiataan keagamaan yang
sesungguhnya.
Kumpulan
sajak Saturnalia karya Macrobius dan Himne Orfik yang
tersisa pada masa sekarang juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme
dan tren sinkretisasi. Himne Orfik merupakan seperengkat komposisi puitis
pra-Klasik yang diatribusikan atas nama Orfeus. Orfeus sendiri merupakan tokoh
dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya, meskipun dihubungan dengan
Orfeus, namun sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh beberapa penyair
berbeda, dan mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropa prasejarah.[87]
Sementara itu tujuan dari dibuatnya Saturnalia adalah untuk menyampaikan
kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh oleh Macrobius dari hasil studinya,
meskipun banyak penggambaran para dewa telah dipengaruhi oleh teologi dan mitologi
Mesir dan Afrika Utara (yang juga mempengaruhi penafsiran Virgilus). Dalam Saturnalia,
kembali bermunculan komentar-komentar mitologi yang dipengaruhi oleh
orang-orang Euhemeris, Stoik, dan Neoplatonis.[78]
Pemahaman modern
Munculnya
pemahaman modern mengenai mitologi Yunani dianggap oleh para sejarawan sebagai
reaksi ganda pada akhir abad kedelapan belas melawan "sikap tradisional
rasa permusuhan Kristen", yang mana sikap agama Kristen, yang mengganggap
bahwa mitos merupakan suatu "kebohongan" atau fabel, telah dipertahankan.[88]
Di Jerman, sekitar tahun 1795, berkembang rasa ketertarikan terhadap Homeros
dan mitologi Yunani. Di Göttingen, Johann Matthias Gesner mulai membangkitkan
kembali studi mitologi Yunani, sedangkan penerusnya, Christian Gottlob Heyne,
bekerja dengan Johann Joachim Winckelmann, dan mendirikan dasar bagi riset
mitologi baik di Jerman maupun di tempat-tempat lainnya.[89]
Bagi Karl
Kerényi mitologi adalah "sekummpulan materi yang terkandung dalam
kisah-kisah tentang makhluk mirip dewa, pertempuran pahlawan dan perjalanan ke
Dunia bawah—mythologem adalah kata Yunani yang terbaik untuk
itu—kisah-kisahnya sudah banyak dikenal namun tidak dapat menerima pembentukan
ulang".[90]
Pendekatan psikoanalitis dan komparatif
Perkembangan
filologi perbandingan pada abad ke-19, bersama dengan penemuan etologis pada
abad ke-20, menjadikan munculnya ilmu mitos. Sejak masa Romantik, semua studi
mitos telah menjadi ilmu perbandingan. Wilhelm Mannhardt, Sir James Frazer, dan
Stith Thompson menggunakan pendekatan perbandingan untuk mengumpulkan dan
mengklasifikasikan tema-tema folklor dan mitologi.[91] Pada tahun 1871 Edward
Burnett Tylor menerbitkan karyanya, Primitive Culture, yang di dalamnya dia
menerapkan metode perbandingan serta berusaha untuk menjelaskan asal mula dan
perkembangan agama.[92] Prosedur Tylor yang secara bersama-sama menarik materi
kebudayaan, ritual, dan mitos dari kebudayaan yang berbeda-beda berpengaruh
pada Carl Jung dan Joseph Campbell. Max Müller menerapkan ilmu baru mitologi
perbandingan dalam studi mitos, yang mana dia menemukan sisa-sisa yang
terdistorsi dari pemujaan alam bangsa Arya. Bronisław Malinowski menekankan
cara mitos memenuhi fungsi-fungsi sosial yang umum. Sementara Claude
Lévi-Strauss dan para strukturalis lainnya membandingkan hubungan formal dan
pola-pola pada mitos di seluruh dunia.[91]Sigmund
Freud memperkenalkan konsepsi biologis dan transhistoris mengenai manusia
serta pendangan terhadap mitos sebagai suatu ekpsresi dari gagasan yang
ditekan. Tafsir mimpi merupakan dasar dari interpretasi mitos Freud dan konsep
Freud mengenai cara kerja mimpi mengenali pentingnya hubungan kontekstual untuk
menafsirkan unsur individual apapun dalam sebuah mimpi. Menurut Freud, teorinya
ini akan menemukan poin yang penting dalam penyesuaian antara pendekatan
strukturalis dan psikoanalitis terhadap mitos.[93]
Carl Jung
memperluas pendekatan psikologis dan transhistoris itu dengan teorinya mengenai
"alam bawah sadar kolektif" dan arketipe (pola-pola
"arkais" yang diturunkan), seringkali diulang-ulang dalam mitos, yang
muncul dari itu.[2]
Menurut Jung, "unsur struktural pembentuk mitos pasti ada di alam bawah
sadar".[94]
Membandingkan metodologi Jung dengan teori Joseph
Campbell, Robert A. Segal menyimpulkan bahwa "untuk menafsirkan mitos,
Campbell secara sederhana mengidentifikasi arketipe di dalamnya. Interpretasi
terhadap Odisseia, misalnya, dapat menunjukkan bagaimana kehidupan
Odisseus menyesuaikan diri dengan pola kepahlawanan. Berlawanan dengan Jung,
yang berpendapat bahwa identifikasi arketipe hanya semata-mata langkah pertama
dalam menfasirkan mitos".[95]
Karl Kerényi, salah satu pendiri studi modern
mengenai mitologi Yunani, meninggalkan pandangan awalnya tentang mitos, supaya
dapat menerapkan teori Jung pada mitologi Yunani.[96]
Teori asal usul
Max
Müller dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu perbandingan mitologi.
Dalam karyanya Mitologi Perbandingan (1867) Müller menganalisa kemiripan
yang "mengganggu" antara mitologi-mitologi dari "ras
biadab" dengan mitologi milik bangsa Eropa awal.
Ada beragam
teori modern mengenai asal usul mitologi Yunani. Menurut Teori Kitab, semua
legenda mitologi berasal dari cerita-cerita dalam naskah kuno, meskipun fakta
nyata telah disamarkan dan dimodifikasi.[97] Menurut Teori Sejarah semua orang
yang disebutkan dalam mitologi dulunya merupakan manusia nyata, dan legenda
mengenai mereka merupakan tembahan pada masa selanjutnya. Jadi cerita Aiolos
muncul dari fakta nyata bahwa Aiolos merupakan penguasa beberapa pulau di Laut
Tyrrhenia.[98] Teori Alegori menyatakan bahwa semua mitos kuno bersifat
simbolis dan merupakan alegori atau kiasan. Sementara Teori Fisik menyebutkan
gagasan bahwa unsur-unsur semacam udara, api, dan air, pada awalnya merupakan
obejk pemujaan relijius, sehingga dewa-dewa utama merupakan personifikasi dari
kekuatan alam tersebut.[99] Max Müller berupaya untuk memahami bentuk keagamaan
India-Eropa dengan cara melacaknya kembali pada banga Arya, perwujudan
"asli"nya. Pada tahun 1891, dia menyebutkan bahwa "penemuan
terpenting yang pernah dibuat pada abad kesembilan belas dengan rasa hormat
pada sejarah kuno umat manusia ... adalah persamaan sederhana ini: Dyaus-pitar
Sansakerta = Zeus Yunani = Yupiter Latin = Tyr Nordik Kuno".
Dalam kasus
lainnya, kedekatan dalam hal karakter dan fungsi mengindikasikan adanya
pewarisan umum, namun kurangnya bukti linguistik menjadikannya sulit untuk
dibuktikan, seperti dalam perbandingan antara Uranus (Yunani) dengan Varuna
(Sansakerta) atau Moirai (Yunani) dengan Norn (Nordik).[100] [101]
Di pihak
lain, arkeologi dan mitografi telah mengungkapkan bahwa bangsa Yunani terilhami
oleh beberapa peradaban di Asia Kecil dan Timur Dekat. Adonis nampaknya
merupakan padanan versi Yunani dari "dewa yang mati" dari daerah
Timur Dekat, yang lebih jelas dalam kultus daripada dalam mitos. Dewi Kibele
berakar dari kebudayaan Anatolia, yang juga merupakan tempat munculnya
ikonografi Afrodit dari dewi-dewi Semit. Ada juga kemungkinan kesetaraan antara
generasi dewa terawal (Khaos dan anak-anaknya) dengan Tiamat dalam Enuma
Elish.[102] Menurut Meyer Reinhold, "konsep kedewaan Timur, yang
melibatkan pergantian kekuasaan melalui kekerasan dan konflik antargenerasi
demi kekuasaan, menemukan jalan mereka ... ke dalam mitologi Yunani".[103]
Selain
berasal dari India-Eropa dan Timur Dekat, beberapa sejarawan juga mengajukan
pendapat bahwa mitologi Yunani dipengaruhi pula oleh peradaban pra-Hellenik, di
antaranya peradaban di Kreta, Mykenai, Pylos, Thebes dan Orkhomenos.[104] Para
sejarawan agama terkagum-kagum oleh sejumlah konfigurasi kuno mengenai mitos
yang berkaitan dengan Kreta (Zeus dan Europe, Banteng Kreta, Minos, Daidalos
dan Ikaros, Minotaur, dll.). Profesor Martin P. Nilsson menyimpulkan bahwa
semua mitos besar Yunani Klasik terikat pada pusat-pusat peradaban Mykenai dan
berasal dari masa prasejarah.[105] Namun demikian, menurut Burkert, ikonografi
dari Periode Istana Kreta hanya memberikan sedikit informasi yang dapat
mendukung teori ini.[106]
Dalam sastra dan seni
Agama
Kristen yang menyebar secara luas tidak menghentikan kepopuleran mitologi
Yunani. Dengan ditemukannya kembali antikuitas klasik pada Abad Renaisans,
sajak-sajak Ovidius memberi banyak pengaruh terhadap para penyair, penulis
drama, musikus, dan seniman barat.[107] Sejak tahun-tahun awal Renaisans, para
seniman semacam Leonardo da Vinci, Michaelangelo Buonarroti, dan Raffaello
Sanzio, banyak menggambarkan tema-tema Pagan mitologi Yunani bersama dengan
tema-tema Kristen, yang lebih konvensional.[107] Melalui bahasa Latin dan
karya-karya Ovidius, mitologi Yunani mempengaruhi para penyair Abad Pertengahan
dan Renaisans, misalnya Petrarca, Giovanni Boccaccio, dan Dante Alighieri di
Italia.[2]
Personifikasi
hari dalam mitologi Yunani. Dari kiri ke kanan: Apollo/Helios - personifikasi
siang hari, Hesperos - personifikasi petang hari, dan Artemis/Selene -
personifikasi malam hari. Lukisan karya Anton Raphael Mengs di Istana Moncloa,
Madrid, Spanyol.Di Eropa Utara, mitologi Yunani tidak memberi pengaruh dalam
seni visual sebesar di daerah Eropa lainnya. Pengaruh mitologi Yunani di Eropa
Utara lebih terlihat dalam sastra. Di Inggris, mitologi Yunani dalam sastra
dipelopori oleh Geoffrey Chaucer dan John Milton, dan terus berlanjut melalui
William Shakespeare sampai Robert Bridges pada abad ke-20. Jean Racine di
Perancis dan Johann Wolfgang von Goethe di Jerman membangkitkan kembali drama
Yunani, dan mengerjakan ulang mitos-mitos kuno.[107] Meskipun pada Zaman
Pencerahan pada abad ke-18 muncul reaksi melawan mitologi Yunani yang menyebar
di seluruh Eropa, mitologi Yunani terus menjadi sumber materi untuk para
penulis drama, termasuk mereka yang menulis libretto untuk banyak opera buatan
George Frideric Handel dan Wolfgang Amadeus Mozart.[108]
Pada akhir
abad ke-18, romantisisme memicu gerakan antusiasme terhadap segala hal tentang
Yunani Kuno, termasuk mitologi Yunani. Di Britania, terjemahan baru drama
tragedi Yunani serta karya-karya Homeros telah mengilhami penyair kontemporer,
seperti Alfred Lord Tennyson, John Keats, Byron dan Percy Bysshe Shelley, juga
para pelukis, misalnya Lord Leighton dan Lawrence Alma-Tadema.[109] Christoph
Willibald Gluck, Richard Strauss, Jacques Offenbach dan banyak lainnya
memasukkan tema-tema mitologi Yunani ke dalam musik.[2] Penulis Amerika pada
abad ke-19, di antaranya Thomas Bulfinch dan Nathaniel Hawthorne, berpendapat
bahwa pembelajaran mitos klasik adalah penting bagi pemahaman sastra Inggris
dan Amerika.[110] Pada masa yang lebih modern, tema-tema mitologi Yunani juga
digunakan oleh para penulis drama seperti Jean Anouilh, Jean Cocteau, dan Jean
Giraudoux di Prancis, Eugene O'Neill di Amerika, serta T. S. Eliot di Britania
dan oleh para novelis seperti James Joyce dan André Gide.[2]